Kisah tentang seorang ibu dan anak. Ibu bertanya, “Bagian tubuh apa yang terpenting?”
Anak yang sering mendapat nasehat dari ibu, dengan lugu dia menjawab, “Telinga.”
Ibu menjawab, “Salah, itu kurang tepat. Nyatanya masih banyak orang tuli.”
Beberapa tahun kemudian, ibu kembali bertanya, “Bagian tubuh apa yang terpenting?”
Anak menjawab, “Mata.”
Lagi-lagi ibu menjawabnya, “Kurang tepat. Nyatanya masih banyak yang buta.”
Beberapa tahun kemudian kakek anak itu meninggal. Dilihatnya semua menangis. Terutama sang ayah. Anak sudah tumbuh dewasa walau mungkin tak sedewasa yang dipikirkan. Ibu kembali bertanya, “Bagian tubuh apa yang terpenting?”
Anak tak menyangka di keadaan seperti ini tiba-tiba ibu masih menanyakannya. Dikira ini hanya permainan tebak-tebakan semata.
“Anakku sayang ini pertanyaan penting. Bagian tubuh yang terpenting adalah bahumu.”
Anak bertanya, “Mengapa ibu menjawab bahu? Karena bahu menyangga kepala saya?”
Ibu menggeleng pelan. “Bahu menyangga kepala orang lain. Saat orang lain menangis, mereka terluka, mereka butuh tempat untuk menyangga kepala mereka. Mereka tentu tidak bisa meletakkannya di bahu mereka sendiri. Bahu sebagai penyangga kepala bisa berarti benar-benar penyangga, bisa berarti kiasan. Jika orang menangis dan terluka, dia butuh bahu. Jadikan bahumu untuk menyangga kepala orang lain, artinya kamu jadi tempat untuk berbagi suka maupun duka. Kalau kau lihat orang bahagia bertemu orang lain dan akan memeluknya lantaran lama tak jumpa, kemana bahu itu ada, disitulah kepala ditempatkan. Ketika keadaan membuat air mata deras mengalir, kemana kepala ditempatkan? Bahu. Dan dimana kamu tengah menghadapi masalah, carilah bahu untuk turut ikut menyangganya! Jadilah orang yang ada dalam suka dan duka orang lain!”
Anak yang sering mendapat nasehat dari ibu, dengan lugu dia menjawab, “Telinga.”
Ibu menjawab, “Salah, itu kurang tepat. Nyatanya masih banyak orang tuli.”
Beberapa tahun kemudian, ibu kembali bertanya, “Bagian tubuh apa yang terpenting?”
Anak menjawab, “Mata.”
Lagi-lagi ibu menjawabnya, “Kurang tepat. Nyatanya masih banyak yang buta.”
Beberapa tahun kemudian kakek anak itu meninggal. Dilihatnya semua menangis. Terutama sang ayah. Anak sudah tumbuh dewasa walau mungkin tak sedewasa yang dipikirkan. Ibu kembali bertanya, “Bagian tubuh apa yang terpenting?”
Anak tak menyangka di keadaan seperti ini tiba-tiba ibu masih menanyakannya. Dikira ini hanya permainan tebak-tebakan semata.
“Anakku sayang ini pertanyaan penting. Bagian tubuh yang terpenting adalah bahumu.”
Anak bertanya, “Mengapa ibu menjawab bahu? Karena bahu menyangga kepala saya?”
Ibu menggeleng pelan. “Bahu menyangga kepala orang lain. Saat orang lain menangis, mereka terluka, mereka butuh tempat untuk menyangga kepala mereka. Mereka tentu tidak bisa meletakkannya di bahu mereka sendiri. Bahu sebagai penyangga kepala bisa berarti benar-benar penyangga, bisa berarti kiasan. Jika orang menangis dan terluka, dia butuh bahu. Jadikan bahumu untuk menyangga kepala orang lain, artinya kamu jadi tempat untuk berbagi suka maupun duka. Kalau kau lihat orang bahagia bertemu orang lain dan akan memeluknya lantaran lama tak jumpa, kemana bahu itu ada, disitulah kepala ditempatkan. Ketika keadaan membuat air mata deras mengalir, kemana kepala ditempatkan? Bahu. Dan dimana kamu tengah menghadapi masalah, carilah bahu untuk turut ikut menyangganya! Jadilah orang yang ada dalam suka dan duka orang lain!”